Atikah
Hardiana - 19210563
Program Sarjana Manajemen, Fakultas Teknik, Universitas
Gunadarma
Jl. KH. Noer Ali, Kalimalang Bekasi, Phone :
88860117
Abstract
Every living thing in this world including
humans and animals have a brain for them to think. Both humans and animals are
able to produce knowledge, where knowledge is used to improve their quality of
life. Basically animals have knowledge, but knowledge is produced through the
process of thinking without reasoning, so the benefit is only very limited
knowledge for survival. Human reasoning capabilities have led to human
knowledge that developed far more advanced than in animals. Even human beings
are the only creatures that develop knowledge in earnest on this earth. The man
knows what is right and what is wrong, what is good and what is bad, and what a
beautiful and what is not. Reasoning is a process to draw a conclusion in the
form of knowledge. Reasoning generates knowledge that is associated with the
activity of thinking rather than feeling. Nevertheless we should realize that
not all of the activity of thinking relies on reasoning. So the reasoning is
the thinking that has certain characteristics in finding the truth. There are
various ways to do the reasoning, such as deductive, inductive, and abductive.
Deductive reasoning logically draws conclusions from given premises. Note that
deductive reasoning is a logical conclusion from the premises available. The
result is not always the truth that we know. Inductive is generelizing a thing
of the cases which we have ever seen or experienced to draw conclusions about
other things that we have never seen or experienced. Abductive is reasoning
from a fact to actions or conditions that result in fact occurred. This method
is used to describe events that we observe.
Keywords: reasoning, deductive, inductive, abductive
Abstrak
Setiap makluk hidup di dunia ini, manusia
dan binatang, memiliki otak. Karena memiliki otak maka manusia dan binatang
mampu berpikir. Karena mampu berpikir maka manusia dan binatang mampu
menghasilkan pengetahuan, dimana pengetahuan ini digunakan untuk memperbaiki
kualitas hidupnya.
Pada dasarnya binatang juga memiliki
pengetahuan, namun pengetahuannya dihasilkan melalui proses berpikir tanpa penalaran, sehingga manfaat
pengetahuannya sangat terbatas yaitu hanya untuk kelangsungan hidupnya [survival]. Kemampuan menalar yangdi
miliki manusia menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan jauh lebih
maju dari pada binatang. Bahkan manusia adalah satu-satunya makluk yang
mengembangkan pengetahuannya secara sungguh-sungguh di bumi ini. Manusia
mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang
buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Penalaran merupakan suatu
proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran menghasilkan pengetahuan
yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Meskipun demikian patut
kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada
penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai
karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Terdapat berbagai cara untuk
melakukan penalaran, diantaranya adalah deduktif, induktif, dan abduktif.
Penalaran deduktif menarik kesimpulan secara logika dari premis yang diberikan.
Perlu diketahui bahwa penalaran deduktif adalah mengambil kesimpulan secara
logika dari premis yang tersedia. Hasilnya tidak selalu dengan fakta kebenaran yang
kita ketahui. Induktif adalah mengeneralisasi atau membuat umum suatu hal dari
kasus-kasus yang pernah kita lihat atau alami untuk menarik kesimpulan mengenai
hal lain yang belum pernah kita lihat atau alami. Abduktif merupakan penalaran
dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang mengakibatkan fakta tersebut
terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan kejadian yang kita amati.
Kata kunci: penalaran, deduktif, induktif, abduktif
1. Pendahuluan
1.1 Latar
Belakang
Berpikir merupakan sebuah proses
yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran
dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah
kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman
atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari
sesuatu yang dikehendaki (Achmadi, 1998). Menurut Himsworth (1997), manusia
adalah makhluk yang berpikir. Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai
masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah
yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya,
dari soal paling remeh sampai soal paling asasi (Hardiman, 2004).
Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dan sebagainya (James, 1999). Pada dasarnya setiap
objek yang ada di dunia pastilah menuntut metode tertentu. Seperti halnya dalam
memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode
ataupun dapat diselesaikan menurut berbagai metode (Ahmad Saebani, 2009).
Akhirnya suatu pendapat mengatakan, bahwa sesuatu memiliki berbagai segi yang
menuntut penggunaan berbagai metode. Untuk memperoleh pengetahuan, maka
digunakanlah metode berfikir ilmiah (Sumadi, 2010). Metode berfikir ilmiah dapat
dilakukan melalui tiga jenis penalaran, yaitu Penalaran
Deduktif, Penalaran Induktif, dan Penalaran Abduktif (Redja, 2001).
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas,
maka penulis memberikan perumusan masalah khususnya yang berkenaan dengan kajian
berpikir ilmiah. Untuk itu penulis merumuskan masalah, sebagai berikut :
1.
Apa yang dimaksud metode berpikir
ilmiah?
2.
Apa nilai guna metode berpikir
ilmiah?
3.
Bagaimana cara berpikir ilmiah
dengan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan
masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah adalah
sebagai berikut:
1.
Untuk
mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah.
2.
Untuk
mengetahui nilai guna metode berpikir ilmiah.
3.
Untuk
mengetahui cara berfikir ilmiah dengan penalaran
deduktif, induktif, dan abduktif.
2. Metode Penulisan
2.1 Sumber dan Jenis Data
Data-data
yang dipergunakan dalam makalah ini bersumber dari berbagai referensi atau
literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Validitas dan
relevansi referensi yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan. Jenis data yang
diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif.
2.2 Pengumpulan
Data
Penulisan
makalah ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka dengan menelusuri berbagai
rujukan yang terkait dengan topik utama permasalahan. Literatur yang digunakan
merupakan literatur yang telah dikaji validitasnya dan mendukung dalam
penguraian masalah.
2.3 Penyusunan Data
Setelah
data terkumpul, dilakukan penyusunan data (pembahasan) dengan sistematis sesuai
dengan masalah yang dikaji. Penyusunan data ini merujuk pada berbagai literatur
berupa buku dan jurnal yang relevan dengan topik makalah yang telah
dikumpulkan. Dari tahapan penyusunan data, tujuan penulisan makalah dapat
terpenuhi yaitu mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah, mengetahui nilai
guna metode berpikir ilmiah, mengetahui cara
berfikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif. Setelah
penyusunan data dilakukan penarikan kesimpulan dari kajian topik yang telah
dilakukan.
3. Pembahasan
3.1 Metode Berfikir Ilmiah
Secara etimologis, metode berasal dari Bahasa
Yunani, yaitu “Meta” yang artinya
sesudah atau dibalik sesuatu, dan “Hodos”
yang artinya jalan yang harus ditempuh (Richard, 1986). Jadi metode berarti
langkah-langkah (cara dan teknik) yang diambil menurut urutan tertentu untuk
mencapai pengetahuan tertentu. Jadi metode berfikir ilmiah adalah prosedur,
cara dan teknik memperoleh pengetahuan, serta untuk membuktikan benar salahnya
suatu hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya (Branner, 2002).
Metode ilmiah ini adalah sebuah prosedur yang
digunakan para ilmuan dalam pencarian kebenaran baru. Dilakukannya dengan cara
kerja sistematis terhadap pengetahuan baru, dan melakukan peninjauan kembali
kepada pengetahuan yang telah ada (Kattsoff, 1992). Tujuan dari penggunaan
metode ilmiah ini yaitu agar ilmu berkembang dan tetap eksis dan mampu menjawab
berbagai tantangan yang dihadapi. Kebenaran dan kecocokan kajian ilmiah, akan
terbatas pada ruang, waktu, tempat dan kondisi tertentu (Milton, 2004).
Metode ilmiah dipengaruhi oleh unsur alam yang
berubah dan bergerak secara dinamik dan teratur. Kondisi alam yang diduga para
filosof karena adanya asas tunggal dari alam (natural law). Filosof yakin, bahwa natural law telah menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam
(Zuhairini, 1995). Ketertiban akan diangkat dan harus diletakkan sebagai objek
ukuran dalam menentukan kebenaran. Corak-corak metodis yang sandarannya pada
kondisi alam, yang dinamik dan teratur, harus diakui telah meneyebabkan lahirnya
ilmu pengetahuan dengan sifat dan kecendrungan yang positivistic (Titus, 1959). Ilmu selalu berkembang dalam
ukuran-ukuran yang konkrit dengan model dan pendekatan serta eksperimen dan
observasi. Dalam perkembangan selanjutnya model dan cara berfikir demikian
telah memperoleh gugatan. Karena, tidak semua ilmu dapat didekati dengan model
yang sama (Sidi, 1973). Dengan ditemukannya metode berfikir ilmiah, secara
langsung telah menyebabkan terjadinya kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia
bukan saja hidup dalam ritmis modernisasi yang serba mudah dan menjanjikan.
Lebih dari itu semua, manusia dapat menggapai sesuatu yang sebelumnya seolah
tidak mungkin. Manusia tidak lagi berpangku tangan, terhadap apa yang menjadi
kehendak alam (Peursen, 2003).
3.2 Manfaat
Berfikir Ilmiah
Metode berpikir ilmiah
memiliki peranan penting dalam membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan
cakrawala baru dalam menjamin eksistensi kehidupan manusia. Dengan menggunakan
metode berfikir ilmiah, manusia terus mengembangkan pengetahuannya (Liang,
1982).
Menurut Sugiharto
(1996) ada 4 cara manusia memperoleh pengetahuan:
1.
Berpegang
pada sesuartu yang telah ada (metode keteguhan).
2.
Merujuk
kepada pendapat ahli
3.
Berpegang
pada intuisi (metode intuisi)
4.
Menggunakan
metode ilmiah
Dari keempat itulah,
manusia memperoleh pengetahuannya sebagai pelekat dasar kemajuan manusia. Namun
cara yang keempat ini, sering disebut sebagai cara ilmuan dalam memperoleh
ilmu. Dalam praktiknya, metode ilmiah digunakan untuk mengungkap dan
mengembangkan ilmu, melalui cara kerja penelitian (Magnis, 1992). Cara kerja
ilmuan dengan penelitian ilmiah, muncul sebagai reaksi dari tantangan yang
dihadapi manusia. Pemecahan masalah melalui metode ilmiah tidak akan
pernah berpaling. Penelitian ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah, memegang
peranan penting dalam membantu manusia untuk memecahkan setiap masalah yang di
hadapinya (Jammer, 1999).
Ilmuan biasanya
bekerja dengan cara kerja sistematis, berlogika dan menghindari diri dari
pertimbangan subjektif. Rasa tidak puas terhadap pengetahuan yang berasal dari
paham orang awam, mendorong kelahiran filsafat. Filsafat menyelidik ulang semua
pengetahuan manusia untuk mendapat pengetahuan yang hakiki (Capra, 1998). Ilmuan
mempunyai falsafah yang sama, yaitu dalam penggunaan cara menyelesaikan masalah
dengan menggunakan metode ilmiah (Noeng, 1996). Metode ilmiah selalu digunakan
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Penggunaan metode ilmiah tertentu
dalam kajian tertentu, dapat memudahkan ilmuan dan pengguna hasil keilmuannya dapat
memudahkan melakukan penelusuran. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, “tidak ada”
kebenaran yang sekedar berada di awang-awang meskipun atas nama logika. Setiap
kebenaran ilmiah, senantiasa diperkuat bukti-bukti empirik dan indrawi, bahkan
sesuatu kebenaran tersebut telah teruji (Hardiman, 2004).
3.3 Penalaran
Ilmiah
Terdapat banyak cara
penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan maksud tulisan ini yang
memusatkan kepada berpikir ilmiah maka terdapat tiga jenis penarikan
kesimpulan yakni berdasarkan logika induktif, logika deduktif dan logika abduktif :
3.3.1 Logika Induktif
Merupakan cara berpikir
menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat
individual (seperti kesimpulan peneliti humoris). Misalnya, kita punya fakta
bahwa kambing punya mata, kucing punya mata, demikian juga anjing dan berbagai
binatang lainnya. Dari kenyataan-kenyataan ini dapat kita tarik kesimpulan umum
bahwa semua binatang mempunyai mata. Dua keuntungan dari logika induktif :
a.
Ekonomis
Karena dengan penalaran induktif
kehidupan yang beraneka ragam dengan berbagai corak dan segi dapat
direduksi/dikurangi menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan
manusia bukan merupakan koleksi/ kumpulan dari berbagai fakta melainkan esensi
dari fakta-fakta tersebut. Demikian juga pengetahuan tidak bermaksud
membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan pada struktur
dasar yang mendasari ujud fakta tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap
dan cermatnya tidak dapat mereproduksi betapa manisnya secangkir kopi atau
betapa pahitnya pil kina. Jadi pengetahuan cukup puas dengan pernyataan elementer
yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pil kina itu pahit.
Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis dan berpikir teoritis.
b.
Penalaran lanjut
Secara induktif dari berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan
pernyataan yang bersifat lebih umum lagi. Melanjutkan contoh tentang kesimpulan
bahwa semua binatang mempunyai mata (induksi binatang), dan semua manusia
mempunyai mata (induksi manusia) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semua
makluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya
pengetahuan secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang
makin lama makin bersifat fundamental.
3.3.2
Logika Deduktif
Adalah kegiatan berpikir
yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana
dari pernyataan bersifat umum ditarik kesimpulan bersifat khusus. Penarikan
kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir silogismus. Silogismus,
disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang
mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan
sebagai premis mayor dan premis minor. Pengetahuan yang didapat
dari penalaran deduktif adalah hasil kesimpulan berdasarkan kedua premis
tersebut. Melanjutkan contoh penalaran induktif di atas dapat dibuat silogismus
sebagai berikut :
Semua makluk mempunyai
mata [premis mayor] ------ Landasan [1]
Si Polan adalah seorang makluk
[premis minor] ------- Landasan [2]
Jadi si Polan mempunyai mata
[kesimpulan] ---------- Pengetahuan
Kesimpulan yang diambil
bahwa si Polan punya mata adalah pengetahuan yang sah menurut penalaran deduktif,
sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang
mendukungnya. Jika kebenaran dari kesimpulan/pengetahuan dipertanyakan maka
harus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya
kedua premis yang mendukungnya adalah benar maka dapat dipastikan bahwa
kesimpulan yang ditariknya juga benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah,
meskipun kedua premisnya benar, karena cara penarikan kesimpulannya tidak sah.
Contoh :
Semua makluk mempunyai
mata [premis mayor] ----Landasan [1]
Si Polan adalah bukan makluk
[premis minor] ----Landasan [2]
Jadi si Polan mempunyai mata
[kesimpulan] ------Pengetahuan
Semua makluk mempunyai
rumah [premis mayor] ----Landasan [1]
Si Polan adalah seorang makluk
[premis minor] ----Landasan [2]
Jadi si Polan mempunyai rumah
[kesimpulan] ------Pengetahuan
Semua makluk mempunyai
mata [premis mayor] ----Landasan [1]
Si Polan adalah seorang makluk
[premis minor] ----Landasan [2]
Jadi si Polan mempunyai kaki
[kesimpulan] ------Pengetahuan
Jadi ketepatan penarikan
kesimpulan dalam penalaran deduktif bergantung dari tiga hal, yakni kebenaran
premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan pengambilan
kesimpulan. Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak
terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah
pengetahuan yang disusun secara deduktif. Misalnya, A = B dan bila B = C
maka A = C. Kesimpulan A sama dengan C pada hakekatnya bukan merupakan
pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekwensi dari
dua pengetahuan yang telah kita ketahui sebelumnya.
3.3.3
Logika Abduktif
Pemikiran mendasar di
sini adalah bahwa sebuah hal yang mungkin untuk melukiskan dan menggambarkan
konsekuensi dari sebuah produk dalam iklan. Berdasarkan pada konsekuensi itu,
baik atribut dari produk yang diiklankan ataupun hubungan nilai dari pengguna
produk dapat disimpulkan (abduktif) oleh penerima iklan tersebut. Sebagai
contoh, di dalam iklan untuk sebuah merek margarin (Blue Band). Orang yang
langsing dan ramping akan ditampilkan sedang menggunakan merek sebuah margarin
yang diiklankan. Dalam kasus ini, konsekuensi dari sebuah produk ditampilkan
(bahwa Blue Band itu membuat makanan enak). Dari iklan ini, sebagai contohnya,
kita bisa mendapatkan sebuah kesimpulan abduktif yaitu Blue Band adalah
margarin dengan presentase “rendah-lemak” (atributnya).
§ Hasil : Pengguna Blue
Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
§ Aturan : Margarin
dengan presentase “rendah-lemak” sangat baik untuk bentuk tubuh.
§ Kasus : Blue Band
adalah margarin dengan presentase “rendah lemak” (kesimpulan informatif)
Apabila kesimpulan
abduktif ini tidak secara eksplisit ada di dalam sebuah iklan, maka berarti
dibuat secara implisit. Bagaimanapun juga, berdasarkan pada konsekuensi yang
digambarkan di dalam iklan itu (Blue Band adalah sebuah pilihan tepat untuk
mendapatkan dan mempertahankan kesehatan dan bentuk tubuh ramping) kita juga
mendapatkan kesimpulan abduktif lain yang dibentuk dalam penggunaan Blue Band,
pengguna produk akan mengingatnya dan tidak bisa dipungkiri bahwa secara
konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).
§ Hasil : Pengguna Blue
Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
§ Aturan : Orang dengan
bentuk tubuh yang baik akan dipuji oleh orang lain
§
Kasus : Dengan menggunakan Blue Band pengguna produk
(akan tetap memiliki bentuk tubuh yang baik) dan dipuji oleh orang lain.
(kesimpulan transformatif).
Abduktif (abduksi)
melakukan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang mengakibatkan
fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan event yang kita
amati. Sebagai contoh, misalkan kita mengetahui bahwa seseorang yang bernama
Sam selalu mengendarai mobilnya dengan sangat cepat jika sdang mabuk. Maka pada
saat kita melihat Sam mengendarai mobilnya dengan sangat cepat maka kita
berkesimpulan bahwa Sam mabuk. Tentunya hal ini belum tentu benar, mungkin saja
dia sedang terburu-buru atau dalam keadaan gawat darurat.
Walaupun abduktif
mungkin tidak dapat diandalkan, namun manusia seringkali menerangkan sesuatu
hal dengan cara seperti ini, dan mempertahankan penjelasaannya hingga ada bukti
lain yang mendukung penjelasan atau teori alternatif.
Pandangan Beberapa Filsuf :
1.
Aristoteles menyebut abduktif (abduksi) mengacu
kepada jenis-jenis inferensi (penyimpulan, penalaran) silogistik yang tidak
berhasil membawa kepastian, karena
hubungan yang lemah antara term-term mayor dan tengah, atau term-term tengah,
minor. Premis mayor bersifat pasti, sedangkan premis minor tidak pasti. Karena
itu kesimpulannya menjadi kurang pasti atau sama dengan premis minor. Contoh
klasik ialah: "semua yang tidak hancur adalah hal yang tidak material,
jasmani; manusia mempunyai jiwa"
2. Adalah Charles Sander Peice (1839-1914) mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir bersifat
"menduga" (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif.
Pemikiran peirce
tentang pentingnya insting pada fase abduktif memiliki implikasi teoritis yang
besar. Pertanyaan kita sekarang adalah apakah abduksi dan hipotesis
eksplanatoris sebagai hasilnya memiliki nilai-nilai ilmiah-teoritis? Atau
dengan perkataan lain, apa ciri-ciri dasar nilai dari abduktif dan hipotesis
eksplanatoris?
Pertama-tama harus
dikatakan bahwa abduksi menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep
universal (generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya bahwa abduktif adalah suatu
proses penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Kesimpulan dari proses itu adalah
suatu proposisi yang menempatkan suatu kasus khusus tertentu dalam suatu kelas
atau kelompok. Maka dengan cara ini, suatu hipotesis mempertegas bahwa suatu
kasus individual ditempatkan dalam suatu kelas yang lebih umum.
Kedua, abduktif merupakan suatu proses yang tidak dapat
dipatok dengan satu jenis penalaran formal (reason) saja. Hipotesis abduktif
dibentuk oleh imajinasi, bukan oleh penalaran kritis. Lebih lagi, seorang
ilmuan akan menggunakan instingnya untuk membuat suatu pilihan yang ekonomis
dan berguna ketika menghadapi begitu banyak penjelasan yang harus diuji.
Hipotesis abduktif, karena itu, tidak muncul dari suatu proses logis yang
ketat, tetapi dari suatu kilatan insight, pengertian, atau ide, di bawah
imajinasi, dan di luar kemampuan penalaran kritis.
Ketiga, proses
abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap
orisinalitas realitas. Karena hipotesis abduktif merupakan hasil dari kilatan
ide imajinasi ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan dan bagi banyak orang
merupakan sesuatu yang baru. Peirce sangat yakin bahwa abduksi merupakan
satu-satunya bentuk penalaran yang bisa menghasilkan ide bagi ilmu pengetahuan.
Abduksi berhenti dengan menawarkan suatu hipotesis yang harus diuji, bukan
sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya. “Abduction merely conjectures in an
original way what the explanation for the phenomena might be”.
Keempat, adalah
interpretatif. Abduktif yang berhasil mengandaikan keterlibatan yang menyeluruh
dan imajinasi yang bebas. Oleh karena itu, ilmuwan yang berpengalaman biasanya
lebih berhasil dari yang tidak berpengalaman. Ini berarti bahwa abduktif
merupakan suatu fase interpretasi. Interpretasi dalam arti bahwa proposisi
hipotesis yang berhasil dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang ilmuwan
terhadap fakta atau pengalaman.
4.
Penutup
Berpikir logis merupakan cara
berfikir manusia yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bertujuan
untuk mendapatkan kebenaran dengan dengan menyusun konsep berfikir yang
teoritis sistematis dan logis dengan menjelaskan beberapa metode penalaran
diantaranya:
1. Metode penalaran deduktif biasanya
berangkat dari suatu silogisme pernyataan, argumen yang umum kemudian dengan
pola pikir / pemikiran yang logis menganalisa menjadi suatu pernyataan sebagai
suatu bentuk yang khusus.
2. Metode penalaran induktif merupakan
suatu bentuk kesimpulan yang di tarik dari suatu argumen, pernyataan-pernyataan
yang spesifik kemudian dengan penalaran yang logis digeneralisasikan menjadi
suatu kesimpulan yang bersifat umum.
3.
Metode
penalaran abduktif menunjukan suatu kesimpulan dari sebuah argument /
teori yang sudah jelas kebenarannya dari sebuah pengamatan / penelitian yang
telah dilakukan, murni di dasarkan pada penalaran yang paling masuk akal.
5.
Daftar Pustaka
1. Achmadi, asmori, 2001 , Filsafat umum, Jakarta :
Rajawali Pers
2.
Achmad, sanusi (1998), Filsasfat
Ilmu, Toeri keilmuan dan Metode Penelitian, Bandung : Program Pasca Sarjana
IKIP Bandung
3.
Alper, A. 2008. The God Part of
the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality and God.
Naperville: Sourcebooks, Inc.
4. Branner, Julia. (2002) Memadu Metode Penelitain
Kualitatif dan Kuantitiatif, Samarinda : pustaka Pelajar
5. Capra, Fritjop, (1998), Titik Balik Peradaan : Sains
Mayarakat dan Kebangkitan, Kebudayaan, Terjemahan M. Thoyibi. Yogyakarta :
Yayasan Bentang budaya
6.
Endang, Saefuddin Anshari, (1988), Dimensi
Kreatif dalam Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina ilmu
7. Einstein, A. 1954. Ideas and Opinions. New York:
Crown Publishers
8.
Gorsuch, R. L. 2002. The Pyramids of
Sciences and of Humanities, American Behavioral Scientist 45,
1822–38.
9. Hanafi, Ahmad, 1990. Pengantar Filsafat Islam,
Jakarta : Bulan Bintang
10. Hardiman, Budi F. 2004, Filsafat Modern, Jakarta :
Gramedia
11. Hadiwijono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat,
Yogyakarta : Kanisius
12. Hassan, faud, Pengantar Filsafatt Barat, Jakarta :
Pustaka Jaya
13. Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan pemikiran
filosofi, (terjemahan Achamda Bimadja, PH.D ) , Bandung : ITB Bandung.
14. Horgan, J. 1997. The End of Science: Facing the Limits of
Knowledge in the Twilight of the Scientific Age. New York: Bantam Books.
15. http://educasikita.blogspot.com/2012/07/penalaran-abduktif_23.html
16. Jammer, Max (1999), Einstern and Religion : Physics and
Theology, New jersey : Princeton University, Press
17. Kattsoff, L.O, 1992, Pengantar Filsafat, Yogyakarta :
Tiara Wacana
18. Kuh, Thoma S, (2000), The Structur of Scientific
Revolution : Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Terjemahan Tjun
Surjaman, Bandung : Rosda).
19. Liang, Gie The, 1982, Dari Administrasi Ke Filsafat,
Yogyakrata : Supersukses
20. Mayr, E. 2001. What Evolution Is? Orion Publishing
Group
21. M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarat : Tinta Mas
22. Magnis – suseno, Franz, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu
Kritis, Yogyakarta : Kanisius
23. Milton H, 2004. Peta filsafat : Pendekatan Kronolig dan
Tematik, Jakarta : teraju
24. Noeng, Muhadjir, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif,
Edisi III, Yogyakarta, Rake Sarasin
25. ___________, (1998), Filsafat Ilmu : Telaah Sistematis,
Fungisonal Komparatif, Yogyakarata : Rake sarasin
26. Nola, R., Irzik, G. 2005. Philosophy, Science, Education,
and Culture. Amsterdam: Springer.
27. Peursen, Van, 2003, Menjadi Filsuf, Yogyakarta :
Qalam
28. Popper, K. 1959. The Logic of Scientific Discovery.
London: Routledge
29. Quine, W., Ullian, J. 1978. The Web of Belief. New
York: Random House
30. Redja, Mudyahardjo, (2001), Filsafat ILmu Pendidikan
: Suatu Pengantar, Bandung : Rosda
31. Ricahrd, Popkin H, 1986, Philosophy, London :
Heinemman
32. Sidi, Gazalba, (1973), Sistemaika Filsafat, Jakarta :
Bulan Bintang
33. Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta:
Kanisius
34. Sudarto (1997) Metodologi Penelitian Filsafat,
Jakarta : Raja Frafindo Persada. Tibawi, AL (1972), Islamic Education, LONDON :
LUzak & Company Ltd.
35. Sugiharto, Bambang, 1996, Posmodernisme : Tantangan Bagi
Filsasfat, Jakarat : Gramedia
36. Tegmark, M. 2007. The Multiverse Hierarchy. Dalam Universe
or Multiverse? B. Carr (ed), Cambridge: Cambridge University Press
37. Titus, Harold. H (1959), Living Issues in Philosophy
: An Introductory Book Of Reading, New York : The Mac Millian Company
38. Watloly, A. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan:
Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural. Jakarta: Kanisius.
39. Zuhairini dkk. (1995), Filsafat Pendidikan Islam,
Jakarta : Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar