Jumat, 07 Juni 2013

Konsep Dasar Berfikir Ilmiah dengan Penalaran Deduktif, Induktif, Dan Abduktif

Atikah Hardiana - 19210563

Program Sarjana Manajemen, Fakultas Teknik, Universitas Gunadarma
Jl. KH. Noer Ali, Kalimalang Bekasi, Phone : 88860117

Abstract
Every living thing in this world including humans and animals have a brain for them to think. Both humans and animals are able to produce knowledge, where knowledge is used to improve their quality of life. Basically animals have knowledge, but knowledge is produced through the process of thinking without reasoning, so the benefit is only very limited knowledge for survival. Human reasoning capabilities have led to human knowledge that developed far more advanced than in animals. Even human beings are the only creatures that develop knowledge in earnest on this earth. The man knows what is right and what is wrong, what is good and what is bad, and what a beautiful and what is not. Reasoning is a process to draw a conclusion in the form of knowledge. Reasoning generates knowledge that is associated with the activity of thinking rather than feeling. Nevertheless we should realize that not all of the activity of thinking relies on reasoning. So the reasoning is the thinking that has certain characteristics in finding the truth. There are various ways to do the reasoning, such as deductive, inductive, and abductive. Deductive reasoning logically draws conclusions from given premises. Note that deductive reasoning is a logical conclusion from the premises available. The result is not always the truth that we know. Inductive is generelizing a thing of the cases which we have ever seen or experienced to draw conclusions about other things that we have never seen or experienced. Abductive is reasoning from a fact to actions or conditions that result in fact occurred. This method is used to describe events that we observe.
Keywords: reasoning, deductive, inductive, abductive


Abstrak
Setiap makluk hidup di dunia ini, manusia dan binatang, memiliki otak. Karena memiliki otak maka manusia dan binatang mampu berpikir. Karena mampu berpikir maka manusia dan binatang mampu menghasilkan pengetahuan, dimana pengetahuan ini digunakan untuk memperbaiki kualitas hidupnya.
Pada dasarnya binatang juga memiliki pengetahuan, namun pengetahuannya dihasilkan melalui proses berpikir tanpa penalaran, sehingga manfaat pengetahuannya sangat terbatas yaitu hanya untuk kelangsungan hidupnya [survival]. Kemampuan menalar yangdi miliki manusia menyebabkan manusia mampu mengembangkan pengetahuan jauh lebih maju dari pada binatang. Bahkan manusia adalah satu-satunya makluk yang mengembangkan pengetahuannya secara sungguh-sungguh di bumi ini. Manusia mengetahui mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, serta mana yang indah dan mana yang jelek. Penalaran merupakan suatu proses berpikir dalam menarik suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan. Penalaran menghasilkan pengetahuan yang dikaitkan dengan kegiatan berpikir dan bukan dengan perasaan. Meskipun demikian patut kita sadari bahwa tidak semua kegiatan berpikir menyandarkan diri pada penalaran. Jadi penalaran merupakan kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Terdapat berbagai cara untuk melakukan penalaran, diantaranya adalah deduktif, induktif, dan abduktif. Penalaran deduktif menarik kesimpulan secara logika dari premis yang diberikan. Perlu diketahui bahwa penalaran deduktif adalah mengambil kesimpulan secara logika dari premis yang tersedia. Hasilnya tidak selalu dengan fakta kebenaran yang kita ketahui. Induktif adalah mengeneralisasi atau membuat umum suatu hal dari kasus-kasus yang pernah kita lihat atau alami untuk menarik kesimpulan mengenai hal lain yang belum pernah kita lihat atau alami. Abduktif merupakan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan kejadian yang kita amati.

Kata kunci: penalaran, deduktif, induktif, abduktif

1.      Pendahuluan
1.1  Latar Belakang
Berpikir merupakan sebuah proses yang membuahkan pengetahuan. Proses ini merupakan serangkaian gerak pemikiran dalam mengikuti jalan pemikiran tertentu yang akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan yang berupa pengetahuan. Manusia berpikir untuk menemukan pemahaman atau pengertian, pembentukan pendapat, dan kesimpulan atau keputusan dari sesuatu yang dikehendaki (Achmadi, 1998). Menurut Himsworth (1997), manusia adalah makhluk yang berpikir. Setiap saat dari hidupnya, sejak dia lahir sampai masuk liang lahat, dia tak pernah berhenti berpikir. Hampir tak ada masalah yang menyangkut dengan perikehidupan yang terlepas dari jangkauan pikirannya, dari soal paling remeh sampai soal paling asasi (Hardiman, 2004).
Berpikir ilmiah adalah menggunakan akal budi untuk mempertimbangkan, memutuskan, mengembangkan dan sebagainya (James, 1999). Pada dasarnya setiap objek yang ada di dunia pastilah menuntut metode tertentu. Seperti halnya dalam memperoleh pengetahuan. Suatu ilmu, mungkin membutuhkan lebih dari satu metode ataupun dapat diselesaikan menurut berbagai metode (Ahmad Saebani, 2009). Akhirnya suatu pendapat mengatakan, bahwa sesuatu memiliki berbagai segi yang menuntut penggunaan berbagai metode. Untuk memperoleh pengetahuan, maka digunakanlah metode berfikir ilmiah (Sumadi, 2010). Metode berfikir ilmiah dapat dilakukan melalui tiga jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif, Penalaran Induktif, dan Penalaran Abduktif (Redja, 2001).

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis memberikan perumusan masalah khususnya yang berkenaan dengan kajian berpikir ilmiah. Untuk itu penulis merumuskan masalah, sebagai berikut :
1.       Apa yang dimaksud metode berpikir ilmiah?
2.       Apa nilai guna metode berpikir ilmiah?
3.       Bagaimana cara berpikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif?

1.3  Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka yang menjadi tujuan pembahasan dalam makalah adalah sebagai berikut:
1.       Untuk mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah.
2.       Untuk mengetahui nilai guna metode berpikir ilmiah.
3.       Untuk mengetahui cara berfikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif.



2.      Metode Penulisan
2.1  Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam makalah ini bersumber dari berbagai referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas. Validitas dan relevansi referensi yang digunakan dapat dipertanggungjawabkan. Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif.

2.2  Pengumpulan Data
Penulisan makalah ini dilakukan dengan menggunakan studi pustaka dengan menelusuri berbagai rujukan yang terkait dengan topik utama permasalahan. Literatur yang digunakan merupakan literatur yang telah dikaji validitasnya dan mendukung dalam penguraian masalah.

2.3  Penyusunan Data
Setelah data terkumpul, dilakukan penyusunan data (pembahasan) dengan sistematis sesuai dengan masalah yang dikaji. Penyusunan data ini merujuk pada berbagai literatur berupa buku dan jurnal yang relevan dengan topik makalah yang telah dikumpulkan. Dari tahapan penyusunan data, tujuan penulisan makalah dapat terpenuhi yaitu mengetahui pengertian metode berpikir ilmiah, mengetahui nilai guna metode berpikir ilmiah, mengetahui cara berfikir ilmiah dengan penalaran deduktif, induktif, dan abduktif. Setelah penyusunan data dilakukan penarikan kesimpulan dari kajian topik yang telah dilakukan.

3.      Pembahasan
3.1  Metode Berfikir Ilmiah
Secara etimologis, metode berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “Meta” yang artinya sesudah atau dibalik sesuatu, dan “Hodos” yang artinya jalan yang harus ditempuh (Richard, 1986). Jadi metode berarti langkah-langkah (cara dan teknik) yang diambil menurut urutan tertentu untuk mencapai pengetahuan tertentu. Jadi metode berfikir ilmiah adalah prosedur, cara dan teknik memperoleh pengetahuan, serta untuk membuktikan benar salahnya suatu hipotesis yang telah ditentukan sebelumnya (Branner, 2002).
Metode ilmiah ini adalah sebuah prosedur yang digunakan para ilmuan dalam pencarian kebenaran baru. Dilakukannya dengan cara kerja sistematis terhadap pengetahuan baru, dan melakukan peninjauan kembali kepada pengetahuan yang telah ada (Kattsoff, 1992). Tujuan dari penggunaan metode ilmiah ini yaitu agar ilmu berkembang dan tetap eksis dan mampu menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Kebenaran dan kecocokan kajian ilmiah, akan terbatas pada ruang, waktu, tempat dan kondisi tertentu (Milton, 2004).
Metode ilmiah dipengaruhi oleh unsur alam yang berubah dan bergerak secara dinamik dan teratur. Kondisi alam yang diduga para filosof karena adanya asas tunggal dari alam (natural law). Filosof yakin, bahwa natural law telah menjadi salah satu sebab adanya ketertiban alam (Zuhairini, 1995). Ketertiban akan diangkat dan harus diletakkan sebagai objek ukuran dalam menentukan kebenaran. Corak-corak metodis yang sandarannya pada kondisi alam, yang dinamik dan teratur, harus diakui telah meneyebabkan lahirnya ilmu pengetahuan dengan sifat dan kecendrungan yang positivistic (Titus, 1959). Ilmu selalu berkembang dalam ukuran-ukuran yang konkrit dengan model dan pendekatan serta eksperimen dan observasi. Dalam perkembangan selanjutnya model dan cara berfikir demikian telah memperoleh gugatan. Karena, tidak semua ilmu dapat didekati dengan model yang sama (Sidi, 1973). Dengan ditemukannya metode berfikir ilmiah, secara langsung telah menyebabkan terjadinya kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Manusia bukan saja hidup dalam ritmis modernisasi yang serba mudah dan menjanjikan. Lebih dari itu semua, manusia dapat menggapai sesuatu yang sebelumnya seolah tidak mungkin. Manusia tidak lagi berpangku tangan, terhadap apa yang menjadi kehendak alam (Peursen, 2003).

3.2  Manfaat Berfikir Ilmiah
Metode berpikir ilmiah memiliki peranan penting dalam membantu manusia untuk memperoleh pengetahuan cakrawala baru dalam menjamin eksistensi kehidupan manusia. Dengan menggunakan metode berfikir ilmiah, manusia terus mengembangkan pengetahuannya (Liang, 1982).
Menurut Sugiharto (1996) ada 4 cara manusia memperoleh pengetahuan:
1.       Berpegang pada sesuartu yang telah ada (metode keteguhan).
2.       Merujuk kepada pendapat ahli
3.       Berpegang pada intuisi (metode intuisi)
4.       Menggunakan metode ilmiah
Dari keempat itulah, manusia memperoleh pengetahuannya sebagai pelekat dasar kemajuan manusia. Namun cara yang keempat ini, sering disebut sebagai cara ilmuan dalam memperoleh ilmu. Dalam praktiknya, metode ilmiah digunakan untuk mengungkap dan mengembangkan ilmu, melalui cara kerja penelitian (Magnis, 1992). Cara kerja ilmuan dengan penelitian ilmiah, muncul sebagai reaksi dari tantangan yang dihadapi manusia. Pemecahan masalah melalui metode  ilmiah tidak akan pernah berpaling. Penelitian ilmiah dengan menggunakan metode ilmiah, memegang peranan penting dalam membantu manusia untuk memecahkan setiap masalah yang di hadapinya (Jammer, 1999).
Ilmuan biasanya bekerja dengan cara kerja sistematis, berlogika dan menghindari diri dari pertimbangan subjektif. Rasa tidak puas terhadap pengetahuan yang berasal dari paham orang awam, mendorong kelahiran filsafat. Filsafat menyelidik ulang semua pengetahuan manusia untuk mendapat pengetahuan yang hakiki (Capra, 1998). Ilmuan mempunyai falsafah yang sama, yaitu dalam penggunaan cara menyelesaikan masalah dengan menggunakan metode ilmiah (Noeng, 1996). Metode ilmiah selalu digunakan untuk memecahkan masalah yang dihadapinya. Penggunaan metode ilmiah tertentu dalam kajian tertentu, dapat memudahkan ilmuan dan pengguna hasil keilmuannya dapat memudahkan melakukan penelusuran. Dalam ilmu pengetahuan ilmiah, “tidak ada” kebenaran yang sekedar berada di awang-awang meskipun atas nama logika. Setiap kebenaran ilmiah, senantiasa diperkuat bukti-bukti empirik dan indrawi, bahkan sesuatu kebenaran tersebut telah teruji (Hardiman, 2004).

3.3  Penalaran Ilmiah
Terdapat banyak cara penarikan kesimpulan, namun untuk sesuai dengan maksud tulisan ini yang memusatkan kepada berpikir ilmiah maka terdapat tiga jenis penarikan kesimpulan yakni berdasarkan logika induktif, logika deduktif dan logika abduktif :

3.3.1 Logika Induktif
Merupakan cara berpikir menarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai kasus yang bersifat individual (seperti kesimpulan peneliti humoris). Misalnya, kita punya fakta bahwa kambing punya mata, kucing punya mata, demikian juga anjing dan berbagai binatang lainnya. Dari kenyataan-kenyataan ini dapat kita tarik kesimpulan umum bahwa semua binatang mempunyai mata. Dua keuntungan dari logika induktif :
a.       Ekonomis
Karena dengan penalaran induktif kehidupan yang beraneka ragam dengan berbagai corak dan segi dapat direduksi/dikurangi menjadi beberapa pernyataan. Pengetahuan yang dikumpulkan manusia bukan merupakan koleksi/ kumpulan dari berbagai fakta melainkan esensi dari fakta-fakta tersebut. Demikian juga pengetahuan tidak bermaksud membuat reproduksi dari obyek tertentu, melainkan menekankan pada struktur dasar yang mendasari ujud fakta tersebut. Pernyataan yang bagaimanapun lengkap dan cermatnya tidak dapat mereproduksi betapa manisnya secangkir kopi atau betapa pahitnya pil kina. Jadi pengetahuan cukup puas dengan pernyataan elementer yang bersifat kategoris bahwa kopi itu manis dan pil kina itu pahit. Pernyataan seperti ini sudah cukup bagi manusia untuk bersifat fungsional dalam kehidupan praktis dan berpikir teoritis.
b.       Penalaran lanjut
Secara induktif dari  berbagai pernyataan yang bersifat umum dapat disimpulkan pernyataan yang bersifat lebih umum lagi. Melanjutkan contoh tentang kesimpulan bahwa semua binatang mempunyai mata (induksi binatang), dan semua manusia mempunyai mata (induksi manusia) maka dapat ditarik kesimpulan bahwa semua makluk mempunyai mata. Penalaran seperti ini memungkinkan disusunnya pengetahuan secara sistematis yang mengarah kepada pernyataan-pernyataan yang makin lama makin bersifat fundamental.

3.3.2        Logika Deduktif
Adalah kegiatan berpikir yang sebaliknya dari penalaran induktif. Deduksi adalah cara berpikir dimana dari pernyataan bersifat umum ditarik kesimpulan bersifat khusus. Penarikan kesimpulan secara deduktif biasanya menggunakan pola berpikir silogismus. Silogismus, disusun dari dua buah pernyataan dan sebuah kesimpulan. Pernyataan yang mendukung silogismus ini disebut premis yang kemudian dapat dibedakan sebagai premis mayor dan premis minor. Pengetahuan yang didapat dari penalaran deduktif adalah hasil kesimpulan berdasarkan kedua premis tersebut. Melanjutkan contoh penalaran induktif di atas dapat dibuat silogismus sebagai berikut :

Semua makluk mempunyai mata [premis mayor] ------ Landasan [1]
Si Polan adalah seorang makluk [premis minor] -------  Landasan [2]
Jadi si Polan mempunyai mata [kesimpulan] ----------  Pengetahuan
Kesimpulan yang diambil bahwa si Polan punya mata adalah pengetahuan yang sah menurut penalaran deduktif, sebab kesimpulan ini ditarik secara logis dari dua premis yang mendukungnya. Jika kebenaran dari kesimpulan/pengetahuan dipertanyakan maka harus dikembalikan kepada kebenaran premis yang mendahuluinya. Sekiranya kedua premis yang mendukungnya adalah benar maka dapat dipastikan bahwa kesimpulan yang ditariknya juga benar. Mungkin saja kesimpulan itu salah, meskipun kedua premisnya benar, karena cara penarikan kesimpulannya tidak sah. Contoh :
Semua makluk mempunyai mata [premis mayor] ----Landasan [1]
Si Polan adalah bukan makluk [premis minor] ----Landasan [2]
Jadi si Polan mempunyai mata [kesimpulan] ------Pengetahuan
Semua makluk mempunyai rumah [premis mayor] ----Landasan [1]
Si Polan adalah seorang makluk [premis minor] ----Landasan [2]
Jadi si Polan mempunyai rumah [kesimpulan] ------Pengetahuan
Semua makluk mempunyai mata [premis mayor] ----Landasan [1]
Si Polan adalah seorang makluk [premis minor] ----Landasan [2]
Jadi si Polan mempunyai kaki [kesimpulan] ------Pengetahuan
Jadi ketepatan penarikan kesimpulan dalam penalaran deduktif bergantung dari tiga hal, yakni kebenaran premis mayor, kebenaran premis minor, dan keabsahan pengambilan kesimpulan. Jika salah satu dari ketiga unsur tersebut persyaratannya tidak terpenuhi maka kesimpulan yang ditariknya akan salah. Matematika adalah pengetahuan yang disusun secara deduktif. Misalnya, A = B dan bila B = C maka A = C. Kesimpulan A sama dengan C pada hakekatnya bukan merupakan pengetahuan baru dalam arti yang sebenarnya, melainkan sekedar konsekwensi dari dua pengetahuan yang telah kita ketahui sebelumnya.

3.3.3        Logika Abduktif
Pemikiran mendasar di sini adalah bahwa sebuah hal yang mungkin untuk melukiskan dan menggambarkan konsekuensi dari sebuah produk dalam iklan. Berdasarkan pada konsekuensi itu, baik atribut dari produk yang diiklankan ataupun hubungan nilai dari pengguna produk dapat disimpulkan (abduktif) oleh penerima iklan tersebut. Sebagai contoh, di dalam iklan untuk sebuah merek margarin (Blue Band). Orang yang langsing dan ramping akan ditampilkan sedang menggunakan merek sebuah margarin yang diiklankan. Dalam kasus ini, konsekuensi dari sebuah produk ditampilkan (bahwa Blue Band itu membuat makanan enak). Dari iklan ini, sebagai contohnya, kita bisa mendapatkan sebuah kesimpulan abduktif yaitu Blue Band adalah margarin dengan presentase “rendah-lemak” (atributnya).
§  Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
§  Aturan : Margarin dengan presentase “rendah-lemak” sangat baik untuk bentuk tubuh.
§  Kasus : Blue Band adalah margarin dengan presentase “rendah lemak” (kesimpulan informatif)
Apabila kesimpulan abduktif ini tidak secara eksplisit ada di dalam sebuah iklan, maka berarti dibuat secara implisit. Bagaimanapun juga, berdasarkan pada konsekuensi yang digambarkan di dalam iklan itu (Blue Band adalah sebuah pilihan tepat untuk mendapatkan dan mempertahankan kesehatan dan bentuk tubuh ramping) kita juga mendapatkan kesimpulan abduktif lain yang dibentuk dalam penggunaan Blue Band, pengguna produk akan mengingatnya dan tidak bisa dipungkiri bahwa secara konsekuen membanggakan produk ini pada orang lain (nilai-nilai).
§  Hasil : Pengguna Blue Band mendapatkan bentuk tubuh dan figur yang baik (ramping)
§  Aturan : Orang dengan bentuk tubuh yang baik akan dipuji oleh orang lain
§    Kasus : Dengan menggunakan Blue Band pengguna produk (akan tetap memiliki bentuk tubuh yang baik) dan dipuji oleh orang lain. (kesimpulan transformatif).

Abduktif (abduksi) melakukan penalaran dari sebuah fakta ke aksi atau kondisi yang mengakibatkan fakta tersebut terjadi. Metode ini digunakan untuk menjelaskan event yang kita amati. Sebagai contoh, misalkan kita mengetahui bahwa seseorang yang bernama Sam selalu mengendarai mobilnya dengan sangat cepat jika sdang mabuk. Maka pada saat kita melihat Sam mengendarai mobilnya dengan sangat cepat maka kita berkesimpulan bahwa Sam mabuk. Tentunya hal ini belum tentu benar, mungkin saja dia sedang terburu-buru atau dalam keadaan gawat darurat.
Walaupun abduktif mungkin tidak dapat diandalkan, namun manusia seringkali menerangkan sesuatu hal dengan cara seperti ini, dan mempertahankan penjelasaannya hingga ada bukti lain yang mendukung penjelasan atau teori alternatif.
Pandangan Beberapa Filsuf :
1.       Aristoteles menyebut abduktif (abduksi) mengacu kepada jenis-jenis inferensi (penyimpulan, penalaran) silogistik yang tidak berhasil membawa kepastian,  karena hubungan yang lemah antara term-term mayor dan tengah, atau term-term tengah, minor. Premis mayor bersifat pasti, sedangkan premis minor tidak pasti. Karena itu kesimpulannya menjadi kurang pasti atau sama dengan premis minor. Contoh klasik ialah: "semua yang tidak hancur adalah hal yang tidak material, jasmani; manusia mempunyai jiwa" 
2.       Adalah Charles Sander Peice (1839-1914) mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir bersifat "menduga" (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif.

Pemikiran peirce tentang pentingnya insting pada fase abduktif memiliki implikasi teoritis yang besar. Pertanyaan kita sekarang adalah apakah abduksi dan hipotesis eksplanatoris sebagai hasilnya memiliki nilai-nilai ilmiah-teoritis? Atau dengan perkataan lain, apa ciri-ciri dasar nilai dari abduktif dan hipotesis eksplanatoris?
Pertama-tama harus dikatakan bahwa abduksi menghasilkan suatu proposisi yang mengandung konsep universal (generalitas). Sudah dikatakan sebelumnya bahwa abduktif adalah suatu proses penyimpulan dari suatu kasus tertentu. Kesimpulan dari proses itu adalah suatu proposisi yang menempatkan suatu kasus khusus tertentu dalam suatu kelas atau kelompok. Maka dengan cara ini, suatu hipotesis mempertegas bahwa suatu kasus individual ditempatkan dalam suatu kelas yang lebih umum.
Kedua, abduktif  merupakan suatu proses yang tidak dapat dipatok dengan satu jenis penalaran formal (reason) saja. Hipotesis abduktif dibentuk oleh imajinasi, bukan oleh penalaran kritis. Lebih lagi, seorang ilmuan akan menggunakan instingnya untuk membuat suatu pilihan yang ekonomis dan berguna ketika menghadapi begitu banyak penjelasan yang harus diuji. Hipotesis abduktif, karena itu, tidak muncul dari suatu proses logis yang ketat, tetapi dari suatu kilatan insight, pengertian, atau ide, di bawah imajinasi, dan di luar kemampuan penalaran kritis.
Ketiga, proses abduksi menegaskan bahwa ilmu pengetahuan selalu berusaha untuk menangkap orisinalitas realitas. Karena hipotesis abduktif merupakan hasil dari kilatan ide imajinasi ilmiah, hipotesis itu bagi ilmuwan dan bagi banyak orang merupakan sesuatu yang baru. Peirce sangat yakin bahwa abduksi merupakan satu-satunya bentuk penalaran yang bisa menghasilkan ide bagi ilmu pengetahuan. Abduksi berhenti dengan menawarkan suatu hipotesis yang harus diuji, bukan sesuatu yang sudah diketahui kebenarannya. “Abduction merely conjectures in an original way what the explanation for the phenomena might be”.
Keempat, adalah interpretatif. Abduktif yang berhasil mengandaikan keterlibatan yang menyeluruh dan imajinasi yang bebas. Oleh karena itu, ilmuwan yang berpengalaman biasanya lebih berhasil dari yang tidak berpengalaman. Ini berarti bahwa abduktif merupakan suatu fase interpretasi. Interpretasi dalam arti bahwa proposisi hipotesis yang berhasil dirumuskan itu tidak lain dari cara pandang ilmuwan terhadap fakta atau pengalaman.

4.      Penutup
Berpikir logis merupakan cara berfikir manusia yang digunakan untuk memperoleh pengetahuan yang bertujuan untuk mendapatkan kebenaran dengan dengan menyusun konsep berfikir yang teoritis sistematis dan logis dengan menjelaskan beberapa metode penalaran diantaranya:
1.       Metode penalaran deduktif biasanya berangkat dari suatu silogisme pernyataan, argumen yang umum kemudian dengan pola pikir / pemikiran yang logis menganalisa menjadi suatu pernyataan sebagai suatu bentuk yang khusus.
2.       Metode penalaran induktif merupakan suatu bentuk kesimpulan yang di tarik dari suatu argumen, pernyataan-pernyataan yang spesifik kemudian dengan penalaran yang logis digeneralisasikan menjadi suatu kesimpulan yang bersifat umum.
3.      Metode penalaran abduktif menunjukan suatu kesimpulan dari sebuah argument  / teori yang sudah jelas kebenarannya dari sebuah pengamatan / penelitian yang telah dilakukan, murni di dasarkan pada penalaran yang paling masuk akal.

5.      Daftar Pustaka
1.      Achmadi, asmori, 2001 , Filsafat umum, Jakarta : Rajawali Pers
2.      Achmad, sanusi (1998), Filsasfat Ilmu, Toeri keilmuan dan Metode Penelitian, Bandung : Program Pasca Sarjana IKIP Bandung
3.      Alper, A. 2008. The God Part of the Brain: A Scientific Interpretation of Human Spirituality and God. Naperville: Sourcebooks, Inc.
4.      Branner, Julia. (2002) Memadu Metode Penelitain Kualitatif dan Kuantitiatif, Samarinda : pustaka Pelajar
5.      Capra, Fritjop, (1998), Titik Balik Peradaan : Sains Mayarakat dan Kebangkitan, Kebudayaan, Terjemahan M. Thoyibi. Yogyakarta : Yayasan Bentang budaya
6.      Endang, Saefuddin Anshari, (1988), Dimensi Kreatif dalam Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina ilmu
7.      Einstein, A. 1954. Ideas and Opinions. New York: Crown Publishers
8.      Gorsuch, R. L. 2002. The Pyramids of Sciences and of Humanities, American Behavioral Scientist 45, 1822–38.
9.      Hanafi, Ahmad, 1990. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang
10.  Hardiman, Budi F. 2004, Filsafat Modern, Jakarta : Gramedia
11.  Hadiwijono, Harun, 1980, Sari Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta : Kanisius
12.  Hassan, faud, Pengantar Filsafatt Barat, Jakarta : Pustaka Jaya
13.  Himsworth, Harold (1997), Pengetahuan Keilmuan dan pemikiran filosofi, (terjemahan Achamda Bimadja, PH.D ) , Bandung : ITB Bandung.
14.  Horgan, J. 1997. The End of Science: Facing the Limits of Knowledge in the Twilight of the Scientific Age. New York: Bantam Books.
15.  http://educasikita.blogspot.com/2012/07/penalaran-abduktif_23.html
16.  Jammer, Max (1999), Einstern and Religion : Physics and Theology, New jersey : Princeton University, Press
17.  Kattsoff, L.O, 1992, Pengantar Filsafat, Yogyakarta : Tiara Wacana
18.  Kuh, Thoma S, (2000), The Structur of Scientific Revolution : Peran Paradigma Dalam Revolusi Sains, Terjemahan Tjun Surjaman, Bandung : Rosda).
19.  Liang, Gie The, 1982, Dari Administrasi Ke Filsafat, Yogyakrata : Supersukses
20.  Mayr, E. 2001. What Evolution Is? Orion Publishing Group
21.  M. Hatta, Alam Pikiran Yunani, Jakarat : Tinta Mas
22.  Magnis – suseno, Franz, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta : Kanisius
23.  Milton H, 2004. Peta filsafat : Pendekatan Kronolig dan Tematik, Jakarta : teraju
24.  Noeng, Muhadjir, (1996), Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, Yogyakarta, Rake Sarasin
25.  ___________, (1998), Filsafat Ilmu : Telaah Sistematis, Fungisonal Komparatif, Yogyakarata : Rake sarasin
26.  Nola, R., Irzik, G. 2005. Philosophy, Science, Education, and Culture. Amsterdam: Springer.
27.  Peursen, Van, 2003, Menjadi Filsuf, Yogyakarta : Qalam
28.  Popper, K. 1959. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge
29.  Quine, W., Ullian, J. 1978. The Web of Belief. New York: Random House
30.  Redja, Mudyahardjo, (2001), Filsafat ILmu Pendidikan : Suatu Pengantar, Bandung : Rosda
31.  Ricahrd, Popkin H, 1986, Philosophy, London : Heinemman
32.  Sidi, Gazalba, (1973), Sistemaika Filsafat, Jakarta : Bulan Bintang
33.  Sudarminta, J. 2002. Epistemologi Dasar. Yogyakarta: Kanisius
34.  Sudarto (1997) Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta : Raja Frafindo Persada. Tibawi, AL (1972), Islamic Education, LONDON : LUzak & Company Ltd.
35.  Sugiharto, Bambang, 1996, Posmodernisme : Tantangan Bagi Filsasfat, Jakarat : Gramedia
36.  Tegmark, M. 2007. The Multiverse Hierarchy. Dalam Universe or Multiverse? B. Carr (ed), Cambridge: Cambridge University Press
37.  Titus, Harold. H (1959), Living Issues in Philosophy : An Introductory Book Of Reading, New York : The Mac Millian Company
38.  Watloly, A. 2001. Tanggung Jawab Pengetahuan: Mempertimbangkan Epistemologi Secara Kultural. Jakarta: Kanisius.
39.  Zuhairini dkk. (1995), Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Bumi Aksara.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar